K.H. Zaidan Al-Hadi: Sang Pejuang Dakwah di Lereng Gunung Kelud
8 min read
(Penyeru Islam di Desa Kunjang, Kecamatan Ngancar, Kediri)

Di tengah hamparan hijau dan sejuknya lereng Gunung Kelud yang mempesona, tersembunyi sebuah desa bernama Kunjang, saksi bisu dari perjalanan seorang ulama besar yang telah menorehkan sejarah panjang dalam penyebaran Islam di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Beliau adalah K.H. Zaidan Al-Hadi, sosok yang begitu dihormati dan disegani, seorang pelopor dakwah yang gigih memperjuangkan syiar Islam di tengah-tengah masyarakat.
Dengan keteguhan hati dan komitmen yang tak tergoyahkan, K.H. Zaidan Al-Hadi mendirikan berbagai institusi pendidikan Islam yang tak hanya mencerdaskan generasi muda, tetapi juga memperkuat akar keagamaan di wilayah tersebut. Keberanian dan keikhlasannya dalam membina masyarakat telah meninggalkan jejak yang tak ternilai, sebuah warisan yang tidak hanya terpatri dalam nilai-nilai keagamaan, tetapi juga dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Bagi masyarakat Ngancar dan sekitarnya, beliau adalah lentera yang menerangi jalan menuju pemahaman agama yang lebih mendalam, serta teladan dalam berjuang dan melayani umat.
Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan
K.H. Zaidan Al-Hadi lahir pada tahun 1927 di Desa Bandung, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung. Sejak usia dini, Zaidan menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap agama. Orangtuanya yang taat senantiasa memberikan dukungan penuh agar Zaidan dapat menempuh pendidikan agama yang berkualitas. Pendidikan dasar agama Zaidan dimulai di Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, yang berjarak sekitar 7 km dari rumahnya. Meskipun jarak yang cukup jauh, semangat Zaidan muda untuk menuntut ilmu tak pernah pudar. Jalan panjang yang dilaluinya setiap hari menjadi saksi bisu atas dedikasi dan tekadnya untuk mengejar ilmu, sekaligus menempa jiwa Zaidan dengan ketekunan yang luar biasa.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Zaidan melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Ringinagung, Pare, Kediri. Di sini, wawasan agama beliau semakin meluas dan mendalam, terutama dalam bidang ilmu nahwu dan fikih. K.H. Zaidan juga memperkaya pengetahuannya di Pondok Pesantren Prambon, Nganjuk, yang pada masa itu dikenal sebagai pusat pendidikan keagamaan yang prestisius di Jawa Timur. Di berbagai pesantren ini, Zaidan tidak hanya dikenal sebagai santri yang rajin, tetapi juga sebagai sosok yang cerdas dan mendalam dalam pemahaman agama.

Pada era itu, pendidikan agama menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di tengah penjajahan Belanda, pendidikan agama sering terpinggirkan, dan pondok pesantren menjadi benteng pertahanan terakhir bagi pendidikan Islam. Dalam situasi sosial dan politik yang tidak stabil, K.H. Zaidan terus memperdalam ilmunya dengan harapan suatu hari kelak dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi umat Islam di Indonesia.
Perjalanan Dakwah di Ngancar
K.H. Zaidan Al-Hadi memulai babak baru dalam perjalanan dakwahnya pada tahun 1961, setelah menikah dengan Marliyah, putri dari Matsulaiman, seorang mudin (imam desa) pertama di Desa Kunjang. Pernikahan ini menjadi awal pengabdian K.H. Zaidan di Kecamatan Ngancar, sebuah wilayah yang pada saat itu masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lokal dan praktik sinkretisme, yaitu perpaduan antara Islam dan tradisi setempat.
Dengan penuh kesabaran dan komitmen yang teguh, K.H. Zaidan memulai dakwahnya secara perlahan, mendekati masyarakat dengan cara yang persuasif dan penuh hikmah. Beliau tak hanya sekadar menyampaikan ajaran, tetapi juga memahami keadaan masyarakat dan menyesuaikan pendekatannya. Salah satu langkah besar yang beliau tempuh adalah mendirikan Lembaga Pendidikan Islam, Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal, pada tahun 1971. Lembaga ini bukan sekadar pusat pendidikan agama, tetapi juga simbol perjuangan dakwah beliau. Madrasah ini tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak, tetapi juga terbuka bagi orang dewasa yang ingin memperdalam pemahaman agama.
Seiring berjalannya waktu, Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal berkembang pesat. Santri-santri yang datang tak hanya berasal dari Desa Kunjang, tetapi juga dari berbagai desa sekitarnya seperti Ngancar, Wates, Babadan, Pancir, dan Ponggok di Blitar. Mereka dikenal sebagai “Santri Kalong,” karena mereka tidak menetap di pondok, melainkan pulang-pergi dari rumah masing-masing. Madrasah ini menjadi pusat dakwah yang sangat berpengaruh, dan pada puncak kejayaannya, jumlah santri yang belajar di sana mencapai sekitar 900 orang. Hal ini membuktikan keberhasilan dakwah K.H. Zaidan dalam mengajak masyarakat untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Masa keemasan Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal berlangsung antara tahun 1971 hingga 2000, di mana K.H. Zaidan menjadi figur sentral dalam menyebarkan ajaran Islam di Kecamatan Ngancar dan sekitarnya. Selain memperkenalkan berbagai kitab yang setara dengan pesantren besar, beliau juga memberikan pendidikan yang berbasis pada akhlak dan moral, menjadikan madrasah ini sebagai pusat pendidikan yang dihormati dan diakui hingga ke daerah-daerah lain.
Perjuangan dakwah K.H. Zaidan di Ngancar tidaklah mudah. Pada awalnya, beliau menghadapi penolakan dari sebagian masyarakat yang masih terikat erat dengan tradisi lokal. Namun, melalui keteguhan, kebijaksanaan, dan pendekatan yang lembut, lambat laun masyarakat mulai terbuka dan menerima ajaran Islam yang beliau sampaikan. K.H. Zaidan tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga membimbing, menenangkan, dan memberikan harapan kepada masyarakat, menjadikan beliau seorang tokoh yang dihormati hingga kini.
Kelebihan dan Komitmen dalam Dakwah
K.H. Zaidan Al-Hadi dikenal sebagai ulama yang memiliki keahlian dalam bidang nahwu dan fikih. Kemampuannya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama ini membuatnya sangat dihormati, tidak hanya di Kecamatan Ngancar tetapi juga di wilayah sekitar. Beliau juga aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi salah satu tokoh yang getol dalam memperjuangkan dakwah Islam melalui organisasi tersebut.
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh K.H. Zaidan adalah kedermawanannya dalam membina hubungan dengan santri. Beliau sering mengadakan acara makan bersama dalam bentuk selamatan, yang tidak hanya mempererat hubungan antara guru dan murid, tetapi juga menjadi bentuk ibadah dan syiar agama. Selain itu, K.H. Zaidan dikenal sebagai sosok yang istiqomah dalam perjuangan dakwah. Setiap perkataan yang beliau sampaikan selalu diwujudkan dalam tindakan nyata, dan komitmennya terhadap agama tidak pernah goyah.


Tantangan pada Masa Gestapu
Kecintaan K.H. Zaidan Al-Hadi terhadap agama dan bangsa juga terlihat pada masa-masa sulit, seperti ketika terjadi peristiwa Gestapu pada tahun 1965. Pada tahun 1965, Indonesia menghadapi salah satu periode paling kelam dalam sejarahnya, yaitu peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Di Jawa Timur, termasuk Kediri, daerah Ngancar merupakan salah satu kawasan yang menjadi basis kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di wilayah ini, simpatisan PKI tumbuh subur, terutama di daerah Sumberpetung yang menjadi pusat perkebunan besar.
Dalam situasi genting tersebut, K.H. Zaidan Al-Hadi tampil sebagai sosok pelindung yang penuh keberanian, menjadi sandaran bagi masyarakat yang diliputi ketakutan akibat tekanan Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah beliau menjelma menjadi benteng perlindungan, tempat di mana warga yang merasa terancam menemukan rasa aman. Di tengah ketidakpastian dan bayang-bayang bahaya, wilayah yang beliau huni menjadi pelabuhan bagi mereka yang cemas menghadapi ancaman PKI. Keberanian K.H. Zaidan dalam melindungi umat Islam di Ngancar kala itu mencerminkan keteguhan dan integritasnya sebagai seorang pemimpin agama yang tangguh. Tak hanya melindungi secara fisik, beliau juga menyalakan kembali semangat dan ketenangan batin di hati masyarakat melalui pesan-pesan moral yang mendalam. Dengan kharismanya sebagai seorang ulama, K.H. Zaidan tidak hanya menjaga keselamatan warga, tetapi juga membawa ketentraman di tengah ancaman yang melanda.
Karena perannya yang penting dalam melindungi masyarakat, banyak tokoh NU (Nahdlatul Ulama) dan tokoh agama lainnya dari berbagai daerah di luar Wates menjadikan rumah K.H. Zaidan sebagai pusat perlawanan terhadap PKI. Pada masa itu, Kecamatan Wates dan Ngancar masih menjadi satu kesatuan, sehingga keduanya menjadi basis pertahanan ulama dan santri dari ancaman komunis. Peran penting K.H. Zaidan sebagai pemimpin komunitas Muslim di Ngancar sangat diakui oleh masyarakat, bahkan hingga saat ini.
Masa Fatroh dan Kebangkitan Lembaga Pendidikan
Setelah wafatnya K.H. Zaidan Al-Hadi pada tahun 2000, lembaga pendidikan yang beliau rintis memasuki masa fatroh, atau kekosongan. Kondisi ini dipicu oleh banyaknya alumni santri yang telah mendirikan madrasah-madrasah mereka sendiri di daerah masing-masing. Meskipun demikian, Lembaga Pendidikan Agama atau Diniyah/TPQ yang didirikan oleh beliau tetap beroperasi, meskipun pengelolaannya belum sepenuhnya maksimal.
Untuk menjaga dan melanjutkan warisan perjuangan beliau, keluarga besar K.H. Zaidan berinisiatif mendirikan TK dan SDNU (Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama) yang berada di bawah naungan Yayasan Al-Hadi. Nama “Al-Hadi” diambil sebagai bentuk penghormatan dan pengingat akan jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Di SDNU, kurikulum yang diajarkan tidak hanya mengacu pada kurikulum Dinas Pendidikan, tetapi juga dilengkapi dengan kurikulum madrasah diniyah. Salah satu program unggulan sekolah ini adalah kewajiban bagi siswa kelas 1 hingga 4 untuk khatam Al-Qur’an. Metode pengajaran yang digunakan adalah metode Usmani, yang dipandu oleh ustadz-ustadzah bersyahadah (bersertifikat).
Selain itu, Yayasan Al-Hadi juga mengelola Darul Aitam, lembaga yang fokus pada pendidikan anak yatim, serta Jumrotul Fajriyah, lembaga pendidikan tingkat TK. Kedua lembaga ini menjadi bagian dari upaya keluarga K.H. Zaidan untuk terus melanjutkan misi dakwah dan pendidikan yang telah beliau rintis.
Kebangkitan Pendidikan Islam di Ngancar
Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal yang didirikan oleh K.H. Zaidan berkembang pesat dan menjadi pusat kegiatan keagamaan di Ngancar. Pada masa keemasannya, madrasah ini menampung lebih dari 900 santri yang datang dari berbagai penjuru daerah. Selain anak-anak, lembaga ini juga terbuka bagi orang dewasa yang ingin memperdalam pemahaman agama. Mereka dikenal sebagai “santri kalong,” yaitu santri yang tidak tinggal di pesantren, tetapi pulang-pergi dari rumah mereka sendiri.
Pada tahun 1990-an, jumlah santri terus meningkat, menunjukkan bahwa metode pengajaran yang diterapkan oleh K.H. Zaidan sangat efektif dan diterima oleh masyarakat. Madrasah ini mengajarkan berbagai kitab klasik yang setara dengan pesantren-pesantren besar di Jawa Timur. Buku-buku fikih, nahwu, serta kitab-kitab tauhid menjadi bagian utama dari kurikulum yang diajarkan di sini.
Setelah wafatnya K.H. Zaidan Al-Hadi, terjadi masa fatroh dalam pengelolaan Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal. Banyak santri yang pernah belajar di madrasah tersebut mulai mendirikan lembaga pendidikan mereka sendiri di berbagai daerah. Namun, madrasah yang beliau rintis tetap berjalan meskipun tidak seoptimal sebelumnya.
Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa K.H. Zaidan, keluarganya mendirikan Yayasan Al-Hadi, yang mengelola beberapa lembaga pendidikan, termasuk TK dan SD Nahdlatul Ulama (SDNU). SDNU tidak hanya mengajarkan kurikulum formal sesuai standar Dinas Pendidikan, tetapi juga dilengkapi dengan kurikulum pendidikan agama yang kuat. Salah satu program unggulan dari SDNU adalah kewajiban bagi para siswa untuk khatam Al-Qur’an sebelum mencapai kelas 5. Selain SDNU, Yayasan Al-Hadi juga mengelola lembaga yatim piatu Darul Aitam, yang fokus pada pendidikan anak-anak yatim, serta lembaga pendidikan Jumrotul Fajriyah tingkat TK.
Nasehat dan Warisan K.H. Zaidan Al-Hadi
K.H. Zaidan Al-Hadi dikenal sebagai sosok yang sederhana, tetapi tegas dalam memegang prinsip-prinsip hidupnya. Salah satu nasihat yang sering beliau sampaikan kepada para santrinya adalah, “Dadi wong iku ojo gampang kemajon tapi yo ojo jual mahal,” yang berarti kita harus menjadi pribadi yang rendah hati tanpa mengabaikan martabat dan harga diri. Pesan ini mencerminkan keseimbangan yang beliau ajarkan antara tawadhu’ (kerendahan hati) dan kemandirian, dua nilai yang sangat penting dalam membentuk karakter seorang Muslim sejati.
Di usia yang telah senja, K.H. Zaidan tetap menjadi teladan bagi masyarakat di Kecamatan Ngancar dan sekitarnya. Keistiqomahannya dalam berdakwah, kegigihannya dalam membangun pendidikan Islam, dan komitmennya terhadap ajaran agama menjadikannya sosok yang patut dicontoh oleh generasi mendatang. Beliau adalah pribadi yang tawadhu’, tegas, dan istiqomah (konsisten) dalam menjalankan dakwah, serta selalu mengingatkan pentingnya menjaga kesederhanaan dan harga diri dalam setiap langkah.
Warisan perjuangan K.H. Zaidan Al-Hadi dalam menyebarkan Islam di Ngancar akan selalu dikenang dan dihormati. Sebagai pahlawan dakwah yang dengan gigih menghadapi berbagai tantangan sosial dan politik, beliau telah meninggalkan jejak yang tak ternilai bagi kemajuan umat di daerah tersebut. Pesan-pesannya akan terus hidup dalam hati para santri dan masyarakat, menjadi sumber inspirasi bagi setiap individu yang menginginkan kebaikan dan kedamaian.
Penutup
K.H. Zaidan Al-Hadi bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga sosok pejuang dakwah yang penuh dedikasi. Perjuangannya dalam menyebarkan Islam di Desa Kunjang dan wilayah sekitar Ngancar telah memberikan dampak yang mendalam bagi kehidupan masyarakat setempat. Warisan pendidikan yang beliau tinggalkan, baik dalam bentuk madrasah diniyah, TPQ, hingga SDNU, menjadi bukti nyata kontribusinya dalam mencerdaskan umat dan menjaga keberlanjutan dakwah Islam.
Hingga kini, nama K.H. Zaidan Al-Hadi terus dikenang sebagai pahlawan dakwah di lereng Gunung Kelud, Kediri. Generasi penerus di wilayah tersebut memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan perjuangan beliau dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Iko
Penulis: Alfiatu Solikah (PAIF)
Penggali Data: Kepala KUA & Semua Penyuluh Agama Islam Kec. Ngancar